Rasa cinta atau benci, adalah faktor yang menggerakkan hati untuk
menerima atau menolak, diam atau bergerak. Namun rasa itu sendiri akan
muncul setelah seseorang mengenali obyek yang hendak dicinta atau
dibenci. Tanpa mengenali, seseorang belum memiliki keberpihakan,
sedangkan salah dalam mengenali, maka akibatnya lebih fatal lagi. Dia
akan mencintai sesuatu yang mestinya dia benci, dan membenci apa-apa
yang selayaknya dia cintai.
Tak Kenal Dosa, Maka tak Membencinya
Benci
terhadap maksiat dan dosa adalah konsekuensi logis dari cinta terhadap
ketaatan dan pahala. Kaum muslimin juga satu kata dalam memandang bahwa
dosa itu cela. Memvonis bahwa maksiat adalah biang dari segala musibah
dan duka lara. Tapi sayang, tak banyak yang peduli untuk mengerti lebih
detil dan rinci, tentang larangan yang dihukumi haram secara syar’i.
Sehingga nyaris pengetahuan globalnya tentang buruknya dosa itu tidak
berfaedah, lantaran mereka tidak tahu apa itu maksiat, dan perbuatan apa
yang dianggap dosa oleh syariat. Kebanyakan hanya tahu bahwa syirik itu
dosa besar, tapi toh mereka juga tidak ingin tahu, keyakinan dan
perbuatan apa saja yang bisa masuk dalam kategori syirik, dosa yang tak
terampuni itu. Akhirnya, perbuatan dosapun menjadi hal yang biasa, atau
tak jarang malah dipromosikan dan dibela.
Jika kita bacakan suatu
dalil bahwa ini adalah haram, itu adalah dosa, maka serta merta mereka
akan menggerutu, “sedikit-sedikit dosa…sedikit-sedikit dosa.” Yang lain
lagi menyanggah, “Jangan mengada-ada, baru kali ini saya mendengar ada
yang mengatakan ini dosa!” Ada lagi yang membantah, “Haji fulan saja
berbuat begitu..!” dan komentar lain yang menunjukkan bahwa dalil-dalil
keharaman itu masih asing di telinga. Terlebih dosa-dosa yang sudah
jamak dilakukan di tengah masyarakat.
Kita ambil satu sampel, jika
kita kita katakan bahwa apa yang dilakukan oleh biduanita yang
menghibur dengan nyanyian genit, berjoged sembari mengenakan pakaian
mini atau ketat itu dosa, maka banyak yang terheran-heran. Apalagi jika
kita katakan bahwa itu termasuk dosa besar, tentu mereka makin tidak
percaya, dan kita dianggap mengada-ada. Sementara telah jelas dalil dari
Nabi saw yang mengabarkan peristiwa yang bakal terjadi di akhir zaman,
“Dua golongan penduduk neraka yang aku belum pernah melihatnya…(kemudian beliau menyebutkan salah satunya)
“Dan
wanita yang berpakaian tapi telanjang, menyimpang, melenggak lenggok,
kepala mereka seperti punuk onta yang miring, mereka tidak akan masuk
jannah, bahkan tidak mencium baunya jannah, padahal bau jannah bisa
dirasakan dari jarak sekian dan sekian (yakni sangat jauh).” (HR Muslim)
Perhatikanlah
ciri wanita yang disebut oleh Nabi sejak lebih dari seribu tahun lalu
itu. Apa yang kita saksikan di zaman ini bukan lagi mirip dengan apa
yang disebutkan cirinya oleh Nabi, bahkan sudah melewati sekian langkah
lebih parah. Perbuatan itu dikategorikan dosa besar karena disertai
ancaman yang keras di akhirat, yakni tidak akan mencium baunya jannah,
na’udzu billah.
Sebagian lagi malah sengaja menghindar dari belajar fikih halal haram
alasannya takut dengan konsekuensinya. Takut jika sudah tahu hukum lalu
tidak bisa mengikuti rambu-rambunya. Sekilas alasan ini masuk akal.
Tapi sebenarnya sikap ini berakibat fatal. Perumpamaannya seperti orang
yang takut melihat jalan berbahaya, lalu berjalan dengan memejamkan
mata. Kecil sekali kemungkinan untuk bisa selamat. Karena itulah, ketika
seseorang berkata kepada sahabat Abu Hurairah, “Saya tidak mau belajar
karena takut menyia-nyiakan ilmu!” Maka beliau menjawab, “Cukuplah kamu
dikatakan menyia-nyiakan ilmu jika kamu tidak mau belajar.” Kiranya
sangat tepat jawaban beliau. Jika alasan orang itu diterima maka
kebodohan terhadap hukum syar’i akan merata, maksiatpun akan merajalela.
Dan lagi, mereka merasa tidak berdosa menjamah dosa dengan alasan belum
mengerti ilmunya.
Mengenali Keburukan Seperti Mengenali Kebaikan
Mengetahui
larangan sama pentingnya dengan pengetahuan tentang perintah.
Sebagaimana mengenali suatu dosa itu sama urgennya dengan mengenali
fadhilah dan pahala. Para ulama terdahulu mengatakan, bidhiddiha
tu’raful asy-ya’, dengan mengetahui kebalikannya, maka akan diketahui
hakikat sesuatu.
Karena itulah, para sahabat dan ulama terdahulu
seirus untuk mengenali beragam keburukan sebagaimana kegigihan mereka
dalam mempelajari beragam kebaikan.
Umar bin Khathab juga mengkhawatirkan generasi yang hanya mengetahui
kebaikan, sementara mereka tidak memahami yang sebaliknya. Beliau
mengatakan, “Sesungguhnya simpul Islam itu akan terurai satu per satu
apabila seseorang itu tumbuh besar dalam Islam sedangkan ia tidak
mengetahui jahiliyyah.” [Al-Fawaa`id, hal. 109 dan al-Jawāb al-Kaafi, hal. 152]
Memiliki
pengetahuan tentang kebaikan adalah keharusan, karena memahaminya
adalah pintu awal untuk mengerjakannya. Mengenali keburukan juga tak
kalah pentingnya, karena dengannya seseorang bisa menghindar dari
keburukan.
Orang yang hanya memburu pahala tanpa mengenali dan mewaspadai dosa,
seperti orang yang bergegas menuju tempat tujuan, tanpa melihat jalan
yang berlubang dan menggelincirkan. Jelas, sulit baginya untuk selamat.
Realita inilah yang banyak kita dapatkan. Orang-orang yang melakukan
berbagai bentuk kebaikan, namun juga melakukan dosa-dosa yang bisa
mengurangi pahala atau bahkan terkadang berakibat hapusnya seluruh amal
kebaikan yang dilakukannya. Maka menjadi kewajiban kita untuk
mempelajari kebaikan lalu berusaha mengikutinya, dan memahami
keburukan-keburukan untuk kemudian dihindari.
Alangkah indah apa
yang diungkapkan oleh sahabat Ali bin Abi Thalib yang menandai karakter
pemburu jannah yang sesungguhnya. Beliau mengatakan,
“Barangsiapa yang
memiliki enam karakter, berarti dia betul-betul sedang memburu jannah
dan lari dari neraka. Barangsiapa mengenal Allah lalu ia mentaati-Nya,
mengenal setan lalu mendurhakainya, mengenal kebenaran lalu
mengikutinya, mengenal kebathilan lalu ia menghindar darinya, mengenal
dunia lalu zuhud terhadapnya dan mengenal akhirat lalu dia memburunya.”
Ya
Allah, tunjukkanlah kepada kami yang benar itu tampak benar, dan
anugerahilah kami untuk bisa mengerjakannya, dan tunjukkanlah yang salah
itu tampak salah, dan berilah taufik kepada kami untuk menjauhinya.
Amien. (Abu Umar Abdillah)
Labels: Artikel, Diary, Inspirasi Islam