Chasing Dream to London

Pukul 7 malam. Terdengar bel memekik tanda seseorang di depan pintu meminta agar pintu segera dibukakan. Sial!, umpat Nash yang langsung terperanjat mendengar erangan bel dan membuyarkan kosentrasinya. Alexis sedang tidak ada, maka ia terpaksa harus membuka pintu.
“Guten abund.”, sapa Casey dengan senyumnya yang sumringah.
“Maaf, disini tidak menerima anak buah Hitler.”, ujar Nash bergurau.
Casey tertawa.
“Sayang sekali Alexis sedang tidak ada. Mungkin keluar dengan teman-temannya.”
“Aku bukan ingin menemui Alexis. Aku ingin menemuimu.”
“Oh ya? Ada apa?”, cibir Nash tidak terlalu tertarik.
“Apa orang Amerika selalu tidak mempersilahkan tamunya masuk?”, sindir Casey.
“Kau bilang ingin menemuiku, bukan untuk masuk ke dalam flat ku.”, sahut Nash ketus.
“Seharusnya aku tidak menemui Ketua Senat untuk minta ijin tadi siang hanya untuk brosur yang dibuat gadis Amerika jahat yang bahkan tidak mempersilahkanku untuk sekedar singgah di flatnya.”, gumam Casey menunjukkan selembar kertas di tangannya.
“Kau barusan mengatakan apa? Kau sudah minta ijin pada Ketua Senat?”, ujar Nash agak memekik.
“Aku rasa bukan hal yang penting bagi mu.”
Casey membalikkan badannya hendak pergi.
“No no no, sorry.”, ucap Nash.
Dengan cekatan ia menarik tangan Casey dan mengajaknya masuk ke dalam flatnya. Casey tersenyum senang melihat sikap Nash.
“Maaf, agak berantakan.”, ujar Nash sambil merapikan buku-bukunya yang berserakan tidak teratur di ruang tamu.
Casey tidak menyahut. Ia malah sibuk memperhatikan keadaan sekitar ruangan. Ia bersikap seakan baru pertama kali memasuki flat milik Alexis dan Nash ini. Ia ingin tahu buku-buku apa saja yang berantakan yang sudah tentu milik Nash. Ia sangat ingin tahu seperti apa Nash sebenarnya, karena ia beranggapan ‘You are what you read’.
Diam-diam ia memperhatikan rak buku yang berada tidak jauh dari ruang tamu. Ia mendapati kebanyakan buku novel karya Charles Dickens dan beberapa buku kuliah. Ia sedikit mengerutkan dahinya saat melihat buku biografi Lady Diana. Ada juga beberapa buku sejarah peradaban dunia yang terletak di pojok dekat tembok.
“Maaf, hanya ada the.”, ucap Nash muncul dengan dua cangkir teh hangat di tangannya.
Casey tersenyum menyadari Nash sering mengucapkan kata ‘maaf’ daritadi. Hal yang sangat langka dan mungkin untuk terakhir kali terucap dari mulut Nash.
Casey menghampiri Nash yang duduk di sebuah sofa dekat jendela.
“Sekarang ceritakan bagaimana kau bisa mendapatkannya?”, Nash tampak tidak sabar.
“Boleh aku mencicipi the buatan mu dulu?”, ujar Casey sengaja mengulur waktu. Ia sangat menikmati saat Nash penasaran seperti ini.
“Ya tentu saja.”
Casey meraih teh di depannya dan bersiap meminumnya. Diliriknya nash sejenak. Sekali lagi ia tersenyum menikmati ekspresi Nash. Ia meneguk tehnya sedikit, kemudian menaruh cangkirnya di atas meja.
“Well, begini ceritanya..”, ujar Casey akhirnya. “Aku sudah mendapatkan ijin dari Michael Davids, Ketua Senat Oxford University tentang penyebaran brosur mu, lengkap dengan bukti tertulisnya.”
Casey memberikan secarik kertas kepada Nash.
Nash langsung merebut kertas tersebut dari tangan Casey dan membacanya.
“Itu tembusan untuk kau simpan. Tembusan yang lain di simpan oleh Ketua Senat sendiri.”, tambah Casey.
“Thank you so much.”, ucap Nash.
Saking senangnya ia tidak sadar memeluk Casey erat. Satu detik. Dua detik. Tiga detik. Di detik keempat ia segera melepaskan pelukannya dan sebisa mungkin menggeser posisi duduknya menjauh dari Casey. Mukanya merah padam. Stupid me!, umpat Nash dalam hati.
“Maaf.”, ujar Nash malu.
“That’s ok.”, sahut Casey tersenyum senang. Merupakan suatu keberuntungan baginya dipeluk seerat itu oleh Nash meskipun hanya tiga detik.
Keadaan berubah menjadi hening. Nash belum juga dapat menghilangkan rasa malunya. Ia belum juga dapat berhenti mebodoh-bodohkan dirinya atas sikap spontannya yang memalukan.
“Bisa kita ganti topic?”, ujar Casey berusaha mencairkan suasana.
“Apa?”, tanya Nash kurang paham.
Casey kembali tersenyum melihat Nash yang salah tingkah.
“Aku ingin kita bicarakan hal lain dan lupakan kejadian tadi. Bisa?”
Oh poor me!. Tiba-tiba Nash merasa seluruh dunia menertawakan dirinya yang masih saja salah tingkah atas insiden tadi, padahal Casey saja sudah melupakannya. Bahkan secara terang-terangan meminta dirinya agar melupakan kejadian tadi. Sangat terkesan dirinya terlalu meikirkan pelukan tadi. Bagaimana tidak, ia sudah dengan lancang memeluk putra anggota parlemen Inggris, Eddie Foreman!
“Aku sangat berterima kasih atas bantuanmu.”, ucap Nash menekan rasa malunya.
“Never mind.”, tanggap Casey. “Oh ya, aku sudah membicarakan hal ini pada Anne Marie dan ia sangat ingin membantu. Ia siap melakukan apa saja agar klub sastra ini kembali.”
“Aku senang sekali mendengarnya. Tapi apa benar ia bersedia melakukan cara-cara yang biasa aku lakukan di New York University.”
“Asal jangan sampai membunuhnya, ia bersedia.”
Nash tertawa kecil. Ia memandang Casey sejenak. Ia tidak menyangka bahwa pria yang ada di hadapannya ini adalah Casey Foreman, putra dari seorang tokoh yang sangat dikaguminya. Ia tidak pernah berpikir akan mengenal apalagi sampai ditolong olehnya seperti ini.
Casey balas memandang Nash. Ia sengaja menaruh tanggannya di dagu seakan sedang memperhatikan Nash.
“What are you looking at?”
“You”
Nash tertawa renyah. Ia segera membuang pandangannya jauh-jauh.

Labels: